Selasa, 27 Januari 2009

peranan pers dlm masyarakat demokrasi pada masa orde baru n reformasi














PERAN KAUM MUDA DALAM MENEGAKKAN DEMOKRASI YANG BERKEADABAN Date Post : 25 Oktober 2008, 17:51:05
Oleh:Asep Warlan YusufDosen FH Unpar PengantarDalam teks dan konteks Indonesia, konsep fundamental dari Negara Hukum, Negara Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan telah menyebar dalam teks pada berbagai dokumen hukum antara lain dalam UUD 1945 beserta peraturan pelaksanaannya, maupun dalam konteks tataran praksisnya yang dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dengan eksplisit menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’. Pada bagian lain Pasal 1 ini menegaskan pula bahwa ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’, serta pada bagian Pembukaan UUD 1945 menorehkan tujuan bernegara yaitu ‘menyejahterakan rakyat’. Dalam tataran kebijakan memang diakui sudah ada niat dan ikhtiar ke arah itu, hanya saja pewujudannya dianggap masih jauh dari harapan kebanyakan rakyat. Mengapa hal ini terjadi? Tentunya banyak faktor penyebabnya.Reformasi yang digelorakan pada tahun 1998 oleh pressure group, tokoh-tokoh nasional, dan kaum pergerakan lainnya telah dengan lugas menuntut dengan paksa agar negara ini dibangun dan diselenggarakan dengan menjujung tinggi hukum dan keadilan. Prioritas langkah konkretnya bermuara pada tindakan memberantas praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mengadili para pelakunya tanpa pandang bulu. Penggunaan kekuasaan yang semena-mena dan sewenang-wenang yang berpusat pada presiden dan pejabat negara lainnya adalah dilarang dan harus di segera dihentikan, serta bagaimana kekayaan bumi pertiwi ini diabdikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Singkatnya, guliran isu reformasi intinya berkenaan dengan bagaimana keterhubungan dan keterkaitan yang komplementer secara kohesif dan konsisten antara negara hukum, negara demokrasi, dan negara kesejahteraan yang harus menjadi landasan cita membangun Negara RI yang “baru”.Kini 10 tahun sudah era reformasi berjalan, namun nampaknya harapan untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis untuk kesejahteraan rakyat masih sebatas mimpi dan wacana. Rakyat sudah mulai kurang sabar untuk menunggu kapan hukum ditegakkan, kapan nilai demokrasi dihormati dan dipenuhi, dan kapan rakyat tidak lagi kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan dan peroleh pendidikan yang berkualitas. Bahkan lebih tragis lagi, sekarang ini sudah nampak masyarakat kecil kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, konflik sosial kerap terjadi, penggusuran terhadap tempat tinggal masyarakat dan tempat usaha para pedagang kecil terus marak dilakukan, lapangan kerja kian menyempit, dan berakhir pada pemiskinan dan kemiskinan.Para pemimpin baik di eksekutif maupun di legislatif asyik mengurus diri sendiri, rakyat dibiarkan ngurus kesusahannya sendiri. Lembaga peradilan mulai menghadapi krisis kepercayaan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan. Martabat dan harga diri sebagai bangsa kini sudah mulai nampak memudar. Ketergantungan pada negara asing tetap besar. Rakyat kebanyakan senantiasa berharap kapankah ini akan berakhir, dan lantas berganti dengan kondisi negara dan bangsa yang sejahtera, hukum menjadi panglima, dan demokrasi menjadi cara memerintah yang efektif. Teriakan para pembela kaum tertindas sudah bergaung di mana-mana, gerakan untuk advokasi pun sudah dilakukan tanpa henti, pemikiran strategis dan terukur dari kalangan terpelajar sudah dilontarkan dalam berbagai forum dan media. Namun keadaan nampaknya belum berubah jua. Lantas rakyat mulai mempertanyakan apakah dengan demikian, negara hukum dan demokrasi dapat berfungsi untuk didayagunakan dalam mewujudkan kesejahteraan yang berkemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia?Demokrasi yang berkeadaban, masih adakah?Het volks is redeloos, de regering is radeloos, het land is reddeloos.(Rakyat kehilangan daya pikir sehat, pemerintah kehilangan akal, negara kehilangan harapan).Perkataan orang Belanda pada abad ke 18 tersebut nampaknya masih relevan untuk diucap ulang pada era reformasi sekarang ini, yang memang persis rakyat dan pemerintah kita sedang dilanda kehilangan akal sehat dan harapan. Roda reformasi yang digerakkan sepuluh tahun yang lalu, ternyata masih belum menampakkan adanya transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Hal ini dengan sangat demonstratif dan kasat mata ditunjukkan oleh berbagai fenomena menyedihkan, seperti kesusahan hidup masyarakat kecil yang makin merana, rasa keadilan diinjak-injak oleh aparatur hukum sendiri yang meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat pada hukum, partai politik semakin pragmatis, irasional, disfungsional, dan disorientasi, kaum intelektual mengoyak martabatnya sendiri dengan “menjual” harga diri, kaum agamawan asyik sendiri dengan urusan teknis beribadat, pengusaha cenderung “selingkuh”” dengan penguasa, media massa nyaris kehilangan gereget karena dilanda kelelahan kreativitas, dan rangkaian potret-potret buram lainnya.Sesunggunya reformasi pun mengusung isu demokrasi yang diasumsikan sebagai pilar utama dalam kehidupan bernegara. Gerakan pro-demokrasi ini merupakan pembongkaran terhadap sistem politik Orde Baru yang begitu lama menghipnotis masyarakat Indonesia dengan berbagai kebijakan yang jauh dari nilai-nilai demokrasi yang berkeadaban (uncivilized democracy). Ketika itu jargon yang dicekoki kepada masyarakat begitu masif dan sistematis seperti pembangunan, stabilitas keamanan, pertumbuhan ekonomi, penyederhanaan parpol, pers bertanggung jawab yang sudah demikian meninabobokan bangsa ini, karena di balik semuanya itu ternyata tidak lebih dari sekedar membangun paradigma Soehartoisme.Selain kita akui dan terima banyak keberhasilan dari rejim Orde Baru, namun dalam tataran demokrasi yang berkeadaban ketika itu menjadi barang mewah, dan pada saat diperoleh pun harus berkorban amat luar biasa, yakni penjara, penculikan, breidel, depolitisasi kampus, penjinakkan kaum cendikiawan, alat Negara TNI/Polri didegradasi jadi alat kekuasaan.Dalam konteks pengisian jabatan presiden dan kepala daerah pun misalnya, Presiden Soeharto dengan mesin politik Golkar (yang ketika itu tidak mau disebut sebagai parpol) menjadi penentu segalanya. Keberadaan MPR/DPR dan DPRD nyaris merupakan kosmetik demokrasi yang berposisi sebagai pelengkap penderita (rubber stamp). Sistem politik otoritarian dan tidak bermartabat tersebut ternyata ruhnya sedikitnya masih meraksuk pada kehidupan parpol dewasa ini, meski dengan kemasan baru dan aktor baru, terutama terasa kental ketika pemilihan anggota legislatif atau pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah digelar.Kini buah dari reformasi tadi sampailah pada era pemilihan umum langsung untuk pengisian jabatan presiden dan kepala daerah. Asumsi awal adanya sistem pemilihan presiden (pilpres) dan kepala daerah (pilkada) secara langsung (pilkada) ini diharapkan dapat melahirkan pemimpin terbaik, prosesnya berlangsung damai, dan rakyat menjalankannya tanpa konflik. Namun kenyataan yang terjadi ternyata masih jauh dari harapan dan desain awal. Banyak konflik horizontal terjadi amat memilukan, politik uang marak di mana-mana, parpol hanya berfungsi sebagi kendaraan politik, dana dari APBN untuk pilpres dan APBD untuk penyelenggaraan pilkada ditengarai terhamburkan dan tersalurkan oleh dan kepada elit-elit parpol dan broker politik, serta gambaran buruk lainnya yang intinya pilpres dan pilkada itu tidak memberikan keuntungan apapun, apalagi menyejahterakan rakyat.Budi baik Rakyat yang sudah berkontribusi untuk mengisi kas APBN dan APBD, ternyata dibalas dengan begitu banyak kekecewaan. Lantas banyak kalangan masyarakat awam dan tokoh menyalahkan bahwa demokrasi lah sebagai biang keladinya. Bahkan tokoh intelektual dan pejabat penting negeri ini sempat melontarkan usul agar pengisian jabatan gubernur cukup diangkat oleh presiden saja, karena gubernur itu didesain sebagai wakil Pemerintah Pusat. Demikian pula dalam pemilihan bupati dan/atau walikota perlu dikembalikan lagi kepada wewenang (baca:kekuasaan) DPRD untuk memilihnya.Untuk pemilihan kepala daerah (gebernur maupun bupati/walikota) misalnya, dana yang dialokasikan dari APBD telah mencapai angka ratusan milyar rupiah. Apabila ditambah dengan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan dari kocek para kandidat dan investor politiknya, maka bisa mencapai trilyunan rupiah. Kemudian muncul kalkulasi ekonomi yang kesimpulannya adalah apabila uang sebanyak itu digunakan untuk bangun sekolah, puskemas, jalan, dan pembukaan lapangan kerja, maka dalam jangka dekat banyak manfaat ekstrinsiknya. Tentu saja di masa susah seperti sekarang ini, kalkulasi tersebut terasa logis, realistis dan rasional, sehingga pemikiran ini dengan serta merta disambut antusias sebagian masyarakat. Kemudian ujung-ujungnya adalah ungkapan emosional dengan menyatakan “tinggalkan sistem demokrasi, kembali ke sistem lama, karena demokrasi ternyata tidak menyejahterakan masyarakat”.Apakah kita terima pernyataan tersebut? Bagaimana nasib demokrasi yang sudah diperjuangkan oleh kaum reformis dengan berdarah-darah akan kita lepas begitu saja dari genggaman? Benarkah dalam kehidupan berdemokrasi kita berada dalam dilema ’bara api’, dipegang tangan terbakar dibuang butuh apinya? Sungguh prihatin kita memahami pemikiran tersebut dilihat dari prespektif Negara Hukum, Negara Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan sebagaimana dianut oleh UUD 1945. Apa yang akan terjadi ketika kita berhasrat kembali ke rezim otoritarian dan sentralistik? Secara hipotetik meniscayakan bahwa apabila kita menerapkan demokrasi dengan berkeadaban, maka hukum akan tegak dan kesejahteraan akan menghampiri rakyat. Salah satu ciri utama demokrasi berkeadaban adalah hadirnya parpol yang berkualitas. Kualitas parpol ditunjukkan dari berfungsinya partai melakukan edukasi civic bagi masyarakat, memiliki platform politik yang handal dan visioner, melakukan kaderisasi calon pemimpin yang dibutuhkan rakyat, membela rakyat yang tengah kesulitan, melaksanakan pemilu dengan jujur dan bersih, tidak ”memperdagangkan” partai untuk sekedar pencalonan, memisahkan antara pengurus partai dengan jabatan publik, dan yang penting merupakan bagian dari solusi dalam memecahkan masalah rakyat dan mampu pula menjawab kebutuhan rakyat. Dalam konteks pemilu baik pilpres, pemilu legislatif, maupun pilkada, maka hakikat demokrasi berkeadaban meliputi kondisi:? bahwa proses pemilihan umum harus berlangsung secara jujur, adil, damai, aman, demokratis, dan bermartabat;? mampu melahirkan pemilih yang rasional, berkualitas dan cerdas;? berdayaguna mencegah terjadinya konflik horizontal maupun vertikal;? sedapat mungkin menghindari dan mencegah adanya sengketa hukum terhadap hasil pemilu, kalau memang terjadi maka diselesaikan melalui prosedur hukum;? untuk memperoleh legitimasi yuridis dan politis dalam penentuan pemenang pemilu;? terhindar adanya perbuatan tercela yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu;? memperkuat dukungan rakyat yang lebih rasional dan objektif.? menghasilkan pemimpin yang terbaik yang didambakan rakyat. Jadi, jika pemilu tidak berkualitas apabila disimplifikasi sesungguhnya karena parpol kita memang tidak berkualitas. Parpol tidak berkualitas karena pemerintah memang setengah hati membangun demokrasi. Mengapa pemerintah setengah hati membangun demokrasi? Karena pemerintah menganggap bahwa demokrasi itu hanya sebatas alat yang dapat digunakan ketika ada pemilihan umum sebagai amanat konstitusi, sehingga tidak terbangun suatu sistem demokrasi yang terinternalisasi dalam kehidupan politik secara komprehensif, kohesif, dan konsisten. Selain itu yang lebih mendasar adalah karena tidak adanya sifat kenegarawanan dari elit kita, dan diperparah lagi tidak adanya teladan dari tokoh masyarakat/bangsa (informal leader) yang mumpuni, yang dapat jadi panutan anak bangsa. Persoalannya lainnya adalah kita belum cukup mampu menyusun suatu grand design yang dapat dijadikan rujukan dalam membangun demokrasi yang berkeadaban dalam bingkai negara hukum yang berkeadilan. Memang kita harus cukup sabar untuk hidup berdemokrasi, karena wujud demokrasi berkeadaban dalam negara yang penduduknya sangat plural dan pendidikan politiknya masih rendah memerlukan proses panjang. Demokrasi berkeadaban dipahami telah mampu mengajarkan sikap menghargai perbedaan aspirasi politik, menghormati beda pendapat dan menerimanya sebagai kritik membangun, untuk meraih kekuasaan dilakukan dengan persaingan yang sehat dan fair, menerima kekalahan tanpa kekerasan, menyelesaikan konflik melalui jalur hukum dan sikap-sikap lainnya yang menunjukkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak.Bila demikian gambaran idealnya, lantas tegakah kita kembali ke sistem lama yang sudah kita pernah alami begitu banyak kemelut? Jika fondasi demokrasi tidak dibangun dari sekarang, maka ke depan akan sulit terjadinya pergantian kepemimpinan nasional dan/atau daerah dan jabatan publik lainnya berlangsung secara damai dan demokratis. Memang diakui bahwa perlu ada perbaikan-perbaikan mendasar (radikal) selain yang inkremental dari penyelenggaraan pemilu ini, tetapi perlu pula disadari bahwa itu memerlukan waktu dan kerja keras dan ikhlas. Namun, insyaAllah dengan itikad baik, keikhlasan dan kecerdasan dari kita semua untuk membangun sistem yang lebih efisien, efektif namun tetap bernilai demokratis, maka biaya yang mahal dalam penyelenggaraan pemilu sesungguhnya bisa direduksi dan konflik bisa diminimalisasi. Menurut Larry Diamond dalam buku “Developing Democracy, toward consolidation, John Hopkins UP 1999, menyatakan bahwa yang harus dilakukan pasca kompetisi politik adalah konsolidasi demokrasi (consoldating democracy). Menurut Diamond, konsolidasi demokrasi adalah bagaimana memberikan akses demokrasi kepada masyarakat dan pembentukan serta penguatan institusi-institusi demokrasi. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu indikator konsolidasi demokrasi adalah bahwa “All major leaders of government and politically significant parties believe that democracy is the best form of government …political parties and interest groups respect each other’s right to compete peacefully for power, eschew violence, and obey the laws, the constitution, and mutually accepted norms of political conduct” (Diamond:65). Meski telah menghasilkan yang kalah dan yang menang dalam kompetisi politik, namun nilai dan prosedur demokrasi harus dijadikan dasar untuk menyelesaikan berbagai ketegangan dan kekecewaan. Perlunya demokrasi terkonsolidasi ketika ia menjadi satu-satunya aturan main, dan ketika tak seorang pun dapat membayangkan untuk bertindak di luar sistem demokrasi; ketika kelompok yang mengalami kekalahan menggunakan aturan yang sama [demokrasi] untuk membalas kekalahannya…” (Prezeworski 1991: 26). Demokrasi kita terkonsolidasi apabila ia “mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari warga sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan ambruk.” (Diamond:238). Dengan demikian secara konstitusional, semua kekuatan menjadi hamba hukum, atau setiap konflik diselesaikan lewat proses hukum. Peran kaum muda sebagai counter eliteDalam konteks kehidupan demokrasi, peran kaum muda amatlah strategis dan memberi pengaruh yang signifikan dalam perbuhan peradaban. Sebagai bukti dapat disebut pendapat Mosca pada awal abad ke 20 yang meyatakan bahwa peluang bagi masuknya darah baru, yang teridentifikasi secara otentik diemban oleh kaum muda, ke dalam golongan elit berkuasa melalui munculnya sumber-sumber kekuasaan baru sebagai akibat dari kemajuan masyarakat, telah melahirkan dan mengembagkan spesialisasi-spesialisasi baru. Selain itu Pareto menegaskan pula bahwa di samping golongan elit penguasa terdapat pula golongan elit pesaing (counter elite), yang sekaligus bertindak saingan terhadap elit yang berkuasa. Bilamana terdapat mekanisme yang memungkinkan masuknya darah baru ke dalam elit penguasa dari elit pesaing dari waktu ke waktu yang berlangusng secara damai, maka dengan begitu elit penguasa akan terhindar dari kemungkinan menjadi dekaden atau busuk. Dengan membuka diri bagi masuknya darah baru secara evoluisioner, elit penguasa akan mampu bertahan sambil memperbaharui dan menyehatkan dirinya secara terus menerus. Kalau tidak, dekadensi atau pembusukan diri tidak akan terelakkan dan bilamana itu terjadi akan mudahlah dari golongan counter elite untuk menumpasnya, antara lain melalui kerusuahna berdarah atau bahakan revolusi. Jadi hadirnya kaum muda dalam tataran kehidupan demokrasi dan praktek politik yaitu:a. sebagai counter elit yang secara konsisten dan persisten harus melakukan ”upaya paksa” bagi elit berkuasa agar berbuat apapun hanya demi kesejahteraan rakyat;b. dilakukan berdasarkan spesialisasi keahlian yang dapat melahirkan gagasan yang fresh, breakthrough, dan memiliki leverage yang terukur dan efektif;c. militansi kaum muda dalam melakukan pergerakan didasarkan pada konsolidasi demokrasi yang compatible dan komplementer dengan sistem demokrasi yang berlaku dan telah diterima rakyat.d. garis perjuangan tidak semata-mata berorientasi pada perebutan kekuasaan, tetapi mendorong untuk terjadinya sirkulasi elit secara reguler, sehat, fair, dan jujur dengan tetap mengindahkan moral, etika, dan sopan santun politik;PenutupDari uraian di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa hakikat dari memulyakan hukum dalam alam demokrasi yang berkeadaban dapat diwujudkan masyarakat apabila:Setiap masyarakat turut memikirkan dan memperjuangkan nasib sendiri dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di masyarakat sebagai alternatif saluran aspirasinya; Menunjukkan adanya kesadaran bermasyarakat dan bernegara yang tinggi dengan tidak menyerahkan sepenuhnya penentuan nasibnya kepada orang lain, seperti kepada pemimpin dan tokoh masyarakat yang ada, baik yang sifatnya formal maupun informal;Senantiasa merespon dan menyikapi secara kritis terhadap sesuatu masalah yang dihadapi sebagai buah dari suatu kebijakan publik dengan berbagai implikasi dan konsekuensinya; Keberhasilan demokrasi itu sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas informasi yang diperoleh, memanfaatkan informasi itu sebagai dasar bagi penguatan posisi daya tawar, dan menjadikannya sebagai pedoman dan arah bagi penentuan peran strategis dalam proses pembangunan;Berdasarkan kenyataan tersebut dapat diperkirakan bahwa adanya penundaan terhadap penempatan hukum secara proporsional dalam kegiatan pembangunan akan mengandung risiko besar. Secara potensial akan muncul perlawanan atau ketidakpatuhan masyarakat, serta praktek eksploitasi sumber daya secara tidak terkendali, dan hilangnya jaminan kesinambungan pembangunan. Dengan demikian apabila dilekatkan hukum dalam kegiatan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umum, maka diperkirakan akan dapat mengeliminasi secara signifikan berbagai dampak yang merugikan.Karena eliminasi terhadap dampak yang merugikan pada akhirnya bertujuan demi terselenggaranya kesejahteraan umum, maka harapan besar akan keberhasilannya harus didasarkan pada kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pembangunan berwajah manusiawi. Penempatan fokus keutamaan pada manusia, selain memiliki argumentasi etis, pada akhirnya memiliki pula dimensi hukum dalam tataran implementasinya. Terkandung maksud di sini adalah bahwa proses peradaban manusia antara lain mensyaratkan adanya ketertiban, keteraturan, kepastian dan keadilan. Bagi Pemerintah, keadilan dan keadaban itu merupakan sumber dan dasar motivasi dan inspirasi yang menjadi energi kekuatan bagi pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Bandung, 18 Oktober 2008